ITB Akan Perkuat Etika – Institut Teknologi Bandung (ITB), sebagai salah satu institusi pendidikan terdepan di slot depo 10k Indonesia, mengambil langkah berani untuk menjawab kegelisahan publik soal lemahnya etika dan literasi komunikasi di kalangan mahasiswa. Di tengah era digital yang di penuhi dengan ujaran kebencian, misinformasi, dan budaya debat kosong di media sosial, ITB memilih untuk tidak tinggal diam.
Bagaimana bisa mahasiswa dengan slot depo 10k IPK tinggi dan kemampuan teknis luar biasa justru gagal menyampaikan pendapat dengan beretika? Apakah kampus hanya fokus pada kecerdasan logika tanpa membekali mahasiswa dengan kecakapan berkomunikasi yang bertanggung jawab? Pertanyaan-pertanyaan ini menggema di ruang diskusi civitas akademika dan menjadi pemicu langkah strategis ITB untuk bergerak.
Penjelasan Kronologi ITB Akan Perkuat Etika dan Literasi
Langkah ITB ini bukan sekadar memperkenalkan mahasiswa pada “bahasa yang sopan” atau “komunikasi yang baik dan benar” dalam makna permukaan. Ini tentang membangun nalar etis dalam setiap proses komunikasi. Etika komunikasi bukan soal membatasi, tapi mendewasakan.
Di dalam forum akademik, media sosial, bahkan ruang organisasi mahasiswa, banyak di temui ujaran sinis, provokasi tanpa dasar, serta argumen yang di bangun dari asumsi dangkal. Ironisnya, semua ini kerap di bungkus dengan klaim kebebasan berekspresi. ITB menyadari bahwa kebebasan tanpa etika justru melahirkan kekacauan. Maka, pendekatan edukatif yang mereka rancang menekankan pada tanggung jawab moral dalam menyampaikan ide dan gagasan.
Baca Berita Lainnya Juga Hanya Di ukdissertations.net
Literasi Digital dan Komunikasi: Senjata atau Bumerang?
Dalam kurikulumnya yang akan di perkuat, ITB mengedepankan pentingnya literasi digital sebagai salah satu pilar utama. Mahasiswa tidak cukup hanya bisa menulis atau berbicara; mereka juga harus mampu membaca konteks, memahami hoaks, mengenali framing media, serta menghindari jebakan narasi yang manipulatif.
Literasi bukan hanya soal memahami teks. Ini tentang membedah makna, menggugat logika, dan menyusun argumentasi yang tidak hanya masuk akal, tapi juga beretika. ITB melihat celah besar dalam hal ini: terlalu banyak mahasiswa yang bersuara keras tapi dangkal. Terlalu banyak debat yang lebih menyerang pribadi daripada gagasan. Maka, strategi ini di rancang bukan untuk membungkam mahasiswa, tetapi untuk menyelamatkan akal sehat dari degradasi digital.
Kurikulum Baru: Mengintegrasi Nalar dan Nurani
Dalam beberapa bulan ke depan, ITB akan mulai mengintegrasikan materi komunikasi etis dan literasi digital ke dalam program pembelajaran lintas jurusan. Tidak hanya di fakultas sosial, tetapi juga di bidang teknik dan sains. Ini adalah gebrakan. Karena selama ini, komunikasi sering di anggap “urusan anak FISIP”, padahal dalam dunia profesional, kemampuan menyampaikan ide dengan cerdas dan santun adalah kebutuhan mutlak.
Beberapa mata kuliah baru akan muncul dengan pendekatan yang berbeda: berbasis kasus nyata, dengan diskusi intensif tentang dilema etika, dan simulasi komunikasi publik dalam berbagai platform. Tak tanggung-tanggung, dosen dari berbagai latar belakang keilmuan akan di libatkan agar mahasiswa tidak terjebak pada komunikasi satu dimensi.
Membongkar Kultur Komunikasi di Kampus
Langkah ini juga di iringi dengan evaluasi terhadap kultur komunikasi internal kampus. Organisasi mahasiswa, unit kegiatan, hingga komunitas diskusi akan di sorot: apakah mereka jadi tempat berkembangnya nalar dan etika, atau justru jadi lahan subur untuk adu ego dan pamer eksistensi?
ITB tidak ingin sekadar mencetak lulusan pintar di atas kertas. Mereka ingin melahirkan intelektual sejati yang tidak hanya mampu berpikir, tetapi juga mampu mengutarakan pikiran dengan cara yang membangun. Kampus ini menyadari bahwa komunikasi yang etis dan literat bukan pelengkap, tapi pondasi dari peradaban akademik yang sehat.
Menjawab Tantangan Zaman: Mahasiswa Harus Naik Kelas
Langkah ini adalah tamparan halus bagi mereka yang merasa cukup dengan kemampuan akademis. Di era ketika opini bisa viral dalam hitungan detik, mahasiswa dituntut untuk naik kelas: dari sekadar kritis menjadi komunikator yang bertanggung jawab. Mereka harus peka terhadap nilai, bijak dalam narasi, dan tajam dalam menyampaikan kebenaran tanpa menyakiti.
ITB sedang menyiapkan revolusi kecil, bukan dengan demonstrasi atau jargon kosong, tetapi dengan membekali mahasiswa dengan alat paling tajam dalam demokrasi modern: komunikasi yang cerdas dan beretika. Dan jika ini berhasil, bukan tidak mungkin kampus-kampus lain akan mengikuti jejak yang sama. Karena peradaban tak akan bertahan lama jika generasi mudanya tak tahu bagaimana cara berbicara dengan benar.